Kamis, 21 Agustus 2008

Kearifan

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama
Zun-Nun.

Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti
mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat
sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat
perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan lain."

Sang sufi hanya tersenyum; ia lalu melepaskan cincin dari salah satu
jarinya, lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu
lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana.
Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?"

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas?
Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu, sobat muda.
Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada
pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya.
Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka
menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya
dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor,
"Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko
emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas
di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada
Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para
pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas
menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali
lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas
pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya
"para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak
bagi "pedagang emas".

Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai
jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya.


Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan
tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka
emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Tidak ada komentar: