Rabu, 03 September 2008

Met Puasa Semuanya...

MARHABAN YA RAMADHAN

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1429 H

MOHON MAAF LAHIR & BATIN

Cuma Saya Yang Tidak Bicara

Suatu hari empat sekawan berjanji satu sama lain untuk bermeditasi tanpa
berbicara sepatah kata pun selama tujuh hari. Pada hari pertama semuanya
tutup mulut, dan meditasi berjalan sesuai rencana. Ketika malam tiba, lampu
minyak mulai kering, dan cahaya mulai redup. Seorang pelayan tertidur di
dekat situ.

Salah satu dari mereka tidak tahan untuk tidak bersuara, "Isi lampu itu,"
katanya.

Orang kedua kaget mendengar suara temannya, "Hus! Kita kan tak boleh bicara,
ingat nggak?"

"Kalian berdua bodoh! Kenapa bicara?" sergah orang ketiga.

Dengan suara lirih orang keempat menggumam, "Cuma saya yang tidak bicara."

Sejak lahir, kita memiliki hasrat bawaan untuk berkomunikasi dengan
orang-orang di sekitar kita. Jika digunakan dengan benar, kata-kata tentu
akan banyak membantu. Namun sering kali kita kelepasan bicara tanpa
memikirkan terlebih dahulu apa yang seharusnya kita katakan atau apakah
sebenarnya kita perlu bicara atau tidak.

Seperti empat sekawan tadi, kita sering berharap untuk tidak mengatakan apa
yang terlanjur kita katakan. Pada saat itu, sudah terlambat karena kata-kata
yang telah dikeluarkan tak dapat ditarik kembali. Kita mungkin saja meminta
maaf, namun kerusakan telah terjadi.

Kita seyogianya menjadi tuan atas lidah kita. Lidah harus mengucapkan apa
yang ingin kita ucapkan saja, bukannya berceloteh tak terkendali. Sayangnya,
sering kali lidahlah yang menjadi tuan dan kita menjadi budaknya; kita
terpaksa mendengar apa yang lidah ucapkan atas nama kita dan sering kita tak
mampu menghentikan ocehannya. Kurangnya kesadaran dan kendali semacam itu
kadang dapat membawa bencana.

Kesadaran, lagi-lagi, adalah kuncinya. Terlepas dari kita akhirnya akan
bicara atau tidak bicara, sadarilah itu sebelum, selama, dan sesudahnya.
Be Happy!

Mengapa Berteriak

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara
dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab;
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu
berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada
disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara
halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut
pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan. Sang guru
lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak
antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu
dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus
berteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi
marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun
menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras
lagi."

Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang
saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka
berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil.
Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa
demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka
nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.
"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya
sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah
cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan,
janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak
mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat
seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang
bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."

Harga Sebatang Lidi

Tahukah anda mengapa sebatang sapu lidi begitu murah harganya?
Begitu murahnya sampai-sampai ia jauh lebih murah daripada seteguk air penghilang
dahaga.
Padahal anda tahu, ia harus dipetik dari pepohonan kelapa yang ditanam di
dusun-dusun jauh di pedalaman.
Ia pun harus diserut, dihaluskan, diikat kuat agar mudah digunakan dan tak melukai
tangan.
Ia harus diangkut oleh banyak kendaraan, melewati banyak pasar, dan naik turun
timbangan penawaran.
Karena, ia dipetik oleh tangan-tangan kecil yang tak menuntut banyak upah. Ia
dijalin oleh wanita-wanita yang tak menghitung laba rugi.
Ia juga dipikul oleh bahu-bahu legam pria yang tak terlalu mengerti transaksi jual
beli.

Sebatang sapu lidi itu begitu murah sampai di tangan kita, karena orang-orang itu
tak menghitung jerih perih kerjanya.
Mereka pun tak mengkalkulasi butir-butir keringatnya.
Maka, mari kita sadari bahwa di balik kemurahan dan kemudahan yang kita cerap
sekarang ini, terselip cerita tentang pengorbanan yang jauh lebih berharga ketimbang
harga seluruh sapu lidi yang bisa kita beli.

Tak Ada Yang Mengalahkan Pesona Kesederhanaan

Semula kita belajar melakukan hal-hal sederhana.
Tak lebih dari satu tambah satu sama dengan dua.
Ketika soal-soal itu semakin terasa mudah, kita coba kerjakan yang sulit.
Kita rambah puluhan, ratusan, perkalian juga pembagian.
Kita namai itu sebagai tantangan.
Tak lama tantangan kehilangan daya tariknya jua.
Maka, kita kepalkan tangan untuk menaklukkan sesuatu yang rumit, besar, dan
tak mudah ditundukkan.
Sebuah soal pun dijawab oleh berlembar-lembar perhitungan hingga nyaris tak
dikenali lagi mana angka mana tanda baca.

Tapi segera saja, kejelimetan itu membosankan.
Tahukah anda apa akhir dari pergulatan ini?
Yaitu, ketika kita mulai meringkas jawaban.
Memendekkan pola perhitungan.
Memangkas baris-baris pembuktian.
Di perjalanan ini kita seolah berbalik ke titik semula : kesederhanaan.
Tak ada yang mengalahkan pesona kesederhanaan.
Kita boleh kumpulkan apa saja dalam hidup ini, namun pada terminal
perhentian, kita kembali dengan tangan yang sederhana dan meninggalkan semua
kerumitan jauh di belakang.

Teknik Karet Gelang Merah

Teknik sederhana ini dari Robert G. Allen, milyuner dari New York dan
pengarang buku best seller "Road to Wealth". Allen mengatakan, bahwa
dalam setiap tindakan kita, selalu ada pikiran positif dan negatif.

Bahkan jika kita berdiam diri pun juga ada kedua pikiran tersebut,
misalnya pikiran positif akan berkata "Ayo,kita mulai bekerja".
Sedangkan pikiran negatif berkata "Ah, nanti saja. Sedang enak nih
duduk-2nya". Kedua pikiran ini sama kekuatannya. Jadi terkadang positif
yang menang, saat lain negatif yang menang.

Lalu, jika memang kekuatannya 50 : 50, bagaimana caranya agar positif
bisa lebih dominan?

Jika memang kekuatannya sama, maka harus ada perangsang dari luar yang
bisa mencegah, ketika pikiran negatif keluar. Allen menggunakan karet
gelang merah di pergelangan tangan kirinya. Setiap saat ada pikiran
negatif sekecil apapun yang melintas di pikirannya, dia langsung
menjepret tangannya dengan karet gelang tersebut. Sepintas memang tampak
lucu. Tapi pengaruhnya ke alam bawah sadar (ABS) anda luar biasa besar.
Apabila anda konsisten dengan menjepretkan karet gelang setiap kali anda
berpikir negatif, maka ABS anda akan merekamnya menjadi suatu kebiasaan
yang harus dihindari.

Ada satu pertanyaan yang mengelitik, yaitu mengapa mesti karet yang
berwarna merah? Bukankah karet gelang ada beragam warna? Atau mungkin
juga pertanyaan mengapa mesti ditangan kiri, bukan di kanan, atau di
kaki?

Robert G. Allen mengatakan, hal-2 ini kelihatannya remeh, tapi
mengandung makna yang besar. Banyak orang yang mengatakan ingin berubah
menjadi lebih baik? Tapi begitu diberikan satu petunjuk, biasanya
petunjuk ini lalu DITAWAR. Ini masalah komitmen.

Apabila anda mau BERUSAHA mencari karet yang berwarna merah, dan
memasangnya di tangan kiri, itu sudah membuktikan anda mempunyai
komitmen yang tinggi untuk berubah. Apabila untuk hal kecil ini saja
sudah anda tawar, mungkin komitmen anda untuk berubah baru di tahap
coba-coba saja.

Hal lain yang sering menjadi pertanyaan disini adalah, sebenarnya apakah
yang disebut pikiran negatif itu? Karena banyak orang tidak sadar bahwa
dia melakukan atau memikirkan hal negatif. Nah, dibawah ini ada daftar
hal negatif yang harus anda `jepret' ketika anda mengalaminya

Menunda, malas, marah, lesu, curiga, malu, ragu-2, rendah diri, sombong,
egois, minder, kuatir, berkata-kata kotor, cemburu, patah hati, takut,
berpikir jorok, dengki, iri, sirik, dendam, sinis, cemberut, pesimis,
takut gagal, resah, takut memulai, cuek, acuh, pasif, cemas, terlambat,
menipu, merajuk, murka, fitnah, menang sendiri, bergosip ria, merasa tak
pernah salah, berbohong, berprasangka buruk, meremehkan, sedih, dan lain
sebagainya. Anda bisa tambahkan disini tindakan-2 anda sendiri yang
menurut anda negatif, dan perlu `dijepret'.

Selamat mencoba !

Membaca Hati

"Membaca itu tidak sekedar melihat. Sahabat yang baik akan lebih banyak
'membaca' hati kita dari pada sekedar 'melihat' keadaan kita."

Seorang anak kecil yang sedang belajar membaca, bertanya kepada ayahnya yang
sedang mengemudikan mobilnya, "Kenapa sih mobil di depan ada tulisan
BELAJAR?"
"Oh, itu berarti mobil khusus untuk belajar stir, sayang. Om yang nyopir
mobil itu sedang belajar setir mobil."
"Lalu kenapa truk yang di sebelahnya ada tulisan AWAS REM MENDADAK?"
"Maksudnya, itu untuk peringatan mobil di belakangnya, bahwa sewaktu-waktu
sopirnya bisa menginjak rem dan berhenti mendadak. Supaya tidak tabrakan!"
"Oh, maksudnya supaya kendaraan yang lain hati-hati?"
"Iya nak, benar sekali."
"Kan udah ada lampu rem yang menyala, atau lampu kedip-kedip kalau mau
belok?"
"Benar, tetapi pemilik mobil di depan mungkin merasa belum cukup untuk hanya
sekedar memberitahu kendaraan dibelakangnya dengan lampu rem atau lampu
sein! Mereka memasang tulisan di belakang agar kendaraan lain waspada. Orang
perlu membaca dari pada sekedar melihat tanda."

Benar, seperti kata si Ayah di atas.
Seperti komunikasi di jalan raya, semua orang sebenarnya dikaruniai
kemampuan untuk "melihat" tanda-tanda tetapi jarang yang mampu untuk
"membaca" tanda-tanda itu.
Ketika orang terdiam, kita hanya melihat dia sedang bad-mood, dan tidak
berusaha "membaca" apa yang terjadi dengan dirinya.
Ketika orang marah-marah, kita hanya melihat kemarahannya saja, dan tidak
pernah "membaca" dengan sungguh-sungguh ada apa di balik kemarahannya.
Kita cenderung melihat hanya "lampu rem" dan "lampu sein", tanpa pernah tahu
maksud sesungguhnya kenapa mereka menginjak rem atau menyalakan lampu sein.

Menjadi sahabat yang baik tidak hanya "melihat" mereka sebagai teman dalam
segala keadaannya, tetapi juga bisa "membaca" apa yang sedang terjadi di
dalam hati sesungguhnya, memahaminya serta ikut merasakannya.

Kita semua adalah anak kecil di atas yang sesungguhnya sedang belajar
"membaca", sedang belajar ber-empathy.

Mendengar Dan Melihat

"We are listening and watching. Not merely hearing and seeing."

Ada banyak orang yang mendengar tetapi tidak sungguh-sungguh mendengar.
Ada banyak orang juga yang melihat, tetapi tidak sunguh-sungguh melihat.
Seringkali kesalahpahaman terjadi karena situasi ini, di mana kita tidak
sungguh-sungguh "melihat" dan tidak sungguh-sungguh "mendengar".
Banyak orang yang merasa terabaikan pula karena merasa tidak "didengar" dan
"dilihat".

Seperti halnya kita berlatih berjalan sewaktu kita balita, "Mendengar" atau
"Melihat" pun membutuhkan latihan yang terus menerus karena mendengar dan
melihat yang sesungguhnya membutuhkan keterampilan khusus, membutuhkan
"jiwa" di dalamnya.

Kita pun harus mulai mendengarkan dan melihat dengan "jiwa" kita. Bukan
hanya dengan saraf mata dan telinga semata.